Pada bulan Juni tahun 2016, Masyarakat Indonesia dihebohkan oleh adanya penangkapan jaringan peredaran vaksin palsu di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri). Penangkapan ini merupakan pengembangan dari terkuaknya kasus mengenai adanya bayi yang meninggal dunia setelah diimunisasi.

Dari penangkapan tersebut telah ditetapkan 20 orang Tersangka yang masing-masing berperan untuk membuat, mendistribusikan, menjual, mengumpulkan dan mencetak label atau bungkus vaksin palsu. Yang mana menurut pengakuan para Tersangka, pemalsuan tersebut telah dilakukan sejak tahun 2003 dan keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 25 juta untuk produsen setiap minggunya, sedangkan keuntungan untuk penjual adalah sebesar Rp. 20 juta setiap minggunya.

Menindaklanjuti  temuan Bareskrim Polri tersebut, Kementerian Kesehatan RI cq. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Penyakit; Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM RI) mengeluarkan surat edaran No. TU.02.06/D1/II.4/912/2016 perihal vaksin palsu; No. 6698/-1772.15 perihal penjualan vaksin palsu di DKI Jakarta; dan No. HK.05-01.1.34.06.1627999 perihal temuan vaksin atau produk biologi palsu. Yang antara lain adalah Engerix B (vaksin hepatitis B), Pediacel (vaksin DPT-Hib-Polio), Euvax B (vaksin hepatitis B), Tripacel (vaksin DPT), PPDRTU (tuberculin), Penta-bio (vaksin DPT-Multazam Bekasi, Permata Bekasi, RSIA Gizar Cikarang, Harapan Bunda Jakarta Timur, Elisabeth Bekasi, Hosana Lippo Cikarang dan Hosana Bekasi. Adapun 8 bidan yaitu Bidan Lia Cikarang, Bidan Lilik Bekasi, Klinik Tabina Cikarang, Bidan Iis Bekasi, Klinik DR. Dafa Baginda Cikarang, Bidan M Elly Novita Ciracas dan Klinik Dr. Ade Kurniawan Jakarta Barat.

Kasus pemalsuan vaksin ini adalah merupakan tamparan yang dahsyat bagi Pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan RI, BPOM RI dan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, karena sudah merupakan tugas Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 42 tahun 2013 yang mengatur mengenai penyelenggaraan imunisasi, maka mulai dari penyediaan logistik, distribusi, penyimpanan dan tenaga pengelola adalah seluruhnya merupakan tanggung jawab dari Pemerintah.

Sebagaimana kita ketahui bersama, vaksin adalah merupakan produk yang tidak boleh dijual bebas. Tidak hanya proses produksi, pendistribusian vaksin juga harus dilakukan secara khusus. Yang mana pengiriman vaksin harus menggunakan sistem clod chain agar tetap menjaga suhu dari vaksin. Bahkan khusus untuk program imunisasi, sebagaimana Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1015/Kemenkes/SK/VI/2005 yang mengatur mengenai pedoman umum pengadaan program imunisasi, yaitu terjaminnya prinsip dan mutu vaksin yang memenuhi kriteria, khasiat, keamanan dan keabsahan vaksin serta telah mempunyai izin edar atau nomor registrasi. Selanjutnya pengadaan vaksin dilaksanakan melalui industri farmasi atau pedagang besar farmasi.

Kelalaian Pemerintah untuk melakukan pengawasan atas peredaran vaksin palsu mengakibatkan Pemerintah atau Negara bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Masyarakat atau warga Negaranya. Dan dapat dilakukan melalui mekanisme pengajuan gugatan class action atau citizen lawsuit.

Write a comment:

*

Your email address will not be published.