islamic-banking-msentnn5y5h9kl2abkhvoziooi5ssgqpd35g3kc6bg

Pengertian Hukum Perbankan Secara Umum.

Bahwa hukum perbankan (banking law) mengandung pengertian sebagai seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin dan sumber hukum lain, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu Bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Bank, eksistensi perbankan dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan (Munir Fuady, 1999: 14). Sedangkan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.

Perbankan Syariah Sebelum Berlakunya UU No. 21 Tahun 2008

Asal muasal berdirinya Bank syariah di Indonesia dimulai sejak diadakannya lokakarya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dilanjutkan pada Musyawarah Nasional IV MUI pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia yang memakai prinsip ekonomi islam dalam menjalankan aktivitasnya. Secara yuridis keberadaan dari prinsip-prinsip “bagi hasil” Bank syariah diakui pertama kali dalam pasal 6 huruf m jo. pasal 13 huruf c Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan (UU No. 7/1992); pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1992 (PP No. 7/1992); pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil (PP No. 72/1992).

Setelah berlakunya Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan (UU No. 9/1998) yang mencabut Undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 7/1992, maka adanya penegasan perubahan penyebutan konsep yang sebelumnya “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil” menjadi “Bank berdasarkan prinsip syariah”. Dalam hal ini pasal 1 angka 13 UU 10/1998 menjelaskan pengertian dari prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara Bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan tanpa pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Pengaturan lebih lanjut mengenai Bank syariah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya payung hukum berupa Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank umum, khususnya bab IX mengenai perubahan kegiatan usaha dan pembukaan kantor cabang syariah; No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank umum berdasarkan prinsip syariah; No. 32/36/KEP/DIR tentan Bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah.

Lalu untuk mengatur kelancaran lalu lintas pembayaran antar Bank serta pelaksanaan pasar uang antar Bank berdasarkan prinsip syariah, maka keluarlah Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 2/4/PBI/2000 tentang kliring bagi Bank umum syariah dan unit usaha syariah Bank umum konvensional; PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; PBI No. 2/8/2000 tentang pasar uang antar Bank berdasarkan prinsip syariah; PBI No. 2/9/PBI/2000 tentang sertifikat wadiah Bank indonesia; PBI No. 5/3/PBI/2003 tentang fasilitas pembiayaan jangka pendek bagi Bank islam; PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; PBI No. 7/35/PBI/2005 tentang perubahan PBI No. 6/24/PBI/2004; PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyalur dana serta pelayanan jasa Bank syariah.

Dengan munculnya payung hukum tersebut, maka ditindaklanjuti dengan diberlakukannya Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU No. 23/1999), khususnya pasal 10 ayat (2) yang memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter.

Perbankan Syariah Setelah Berlakunya UU No. 21 Tahun 2008

Saat ini, mengenai pengaturan/dasar hukum dari perbankan syariah diatur didalam Undang-undang No. 21 tahun 2008 mengenai Perbankan syariah (UU No. 21/2008). Dari ketentuan Undang-undang tersebut didapati pengertian perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (pasal 1 angka 1 UU No. 21/2008). Kemudian pengertian dari Bank syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank umum syariah dan Bank pembiayaan rakyat syariah (pasal 1 angka 7 UU No. 21/2008). Lalu yang dimaksud dengan prinsip syariah, yaitu prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah.

Untuk melakukan kegiatan usaha Bank syariah/unit usaha syariah wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia dan berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Dalam hal ini Bank syariah yang telah mendapat izin usaha, maka wajib untuk mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada penulisan nama Banknya. Sedangkan Bank umum konvensional yang telah mendapat izin usaha unit usaha syariah, maka wajib mencantumkan dengan jelas frase “unit usaha syariah” setelah nama Bank yang bersangkutan.

Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank syariah dan unit usaha syariah wajib untuk menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional dan kewajaran serta menerapkan prinsip kehati-hatian.

Selain dari hal tersebut terdapat larangan bagi Bank syariah dan unit usaha syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu : a). Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah; b). Melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal; c). melakukan penyertaan modal kecuali sebagaimana dimaksud pasal 20 ayat (1) huruf b dan c serta ayat (2) huruf c. d). Melakukan kegiatan usaha perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.

Dengan demikian prinsip utama yang dianut oleh Bank syariah adalah pelaksanaan kegiatan usaha yang tidak menggunakan sistem riba, maysir dan gharar.

Please contact us at admin@shnplawfirm.com ; or on 0822-9913-2014 (Mr. Andru)

Date

2 November 2016

Author by

Mr. Andru