Organisasi dunia bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations) yang mengurusi permasalahan dan pencegahan perdagangan serta penyalahgunaan narkotika, yaitu United Nation Office On Drugs And Crime (UNODC) telah menyampaikan hasil laporan yang sangat mengejutkan dunia, yaitu jumlah dari pecandu dan penyalahgunaan narkotika di dunia sampai dengan saat ini telah mencapai 246 juta jiwa atau sekitar 5,2 % dari populasi dunia.
Lalu Bagaimana Di Indonesia?
Menurut data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan di tahun 2016 diketahui ada lebih dari 4 juta penduduk Indonesia yang tercatat sebagai pecandu dan penyalahguna narkotika. Yang mana 50 % tahanan yang menghuni Lembaga Permasyarakatan adalah karena kasus narkotika. Selain itu terdapat sekitar 50 orang setiap harinya meninggal dunia akibat narkotika.
Dari data inilah mengapa Pemerintahan Jokowi, BNN dan Polri menganggap Indonesia telah masuk kategori sebagai darurat dan harus berperang dengan narkotika serta obat-obatan terlarang (Negara berstatus darurat narkoba).
Apa itu Narkotika?
Awal mulanya istilah narkotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “narke“, namun secara etimologi istilah narkotika berarti “narkoties” atau “narcosis” yang artinya membius atau terbius atau tidak merasakan apa-apa, yaitu sifat dari zat tersebut berpengaruh terutama terhadap otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, pikiran, perasaan, persepsi, halusinasi dan kesadaran.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 (“UU Narkotika”) telah menjelaskan definisi dari “narkotika”, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang.
Apakah Pidana Penjara Efektif Bagi Pecandu Dan Penyalahguna Narkotika?
Permintaan atau demand terhadap narkotika di Indonesia sangat tinggi meskipun telah banyak pecandu dan penyalahguna narkotika yang dipenjara. Tercatat sudah 50 jaringan narkotika Internasional yang berhasil ditangkap oleh BNN selama tahun 2015. Kemudian dari 15 kasus berbeda BNN telah menyita aset senilai 100 miliar. Belum lagi pengungkapan terhadap 860 kilogram sabu yang jika dikonversi nilainya mencapai Rp. 1,7 triliun. Selama permintaan terhadap narkotika tetap tinggi, maka berlaku prinsip ekonomi yang umum dan jamak dilakukan, yaitu dimana ada permintaan pasti ada penawaran (supply and demand).
Secara yuridis formil upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2, yaitu melalui jalur “penal” (hukuman pidana penjara) dan melalui jalur “non penal” (diluar pidana penjara). Upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur “penal” dititikberatkan pada sifat represif setelah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada sifat preventif atau pencegahan.
Pidana penjara bagi pecandu dan penyalahguna narkotika terbukti adalah bukan merupakan cara yang efektif untuk memperbaiki kerusakan, karena pada saat yang sama terdapat kecenderungan peningkatan terhadap kejahatan narkotika yang mencapai 41,37 % per tahun. Hal ini sebenernya mengindikasikan bahwa sanksi pidana penjara ternyata tidak efektif dalam mencapai tujuannya, yaitu untuk memberikan efek jera dan efek menakuti (defference effect).
Dasar Pengaturan Rehabilitasi Di Indonesia?
Selain daripada UU Narkotika, ketentuan mengenai rehabilitasi telah diatur juga didalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 (“UU Kesehatan”); Peraturan Presiden RI No. 23 tahun 2010; Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011; Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 4 tahun 2010; Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 tahun 2011; Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 80 tahun 2014; Peraturan Kepada BNN No. 11 tahun 2014; dan Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kepala BNN No. 01/PB/MA/III/2014, No. 03 tahun 2014, No. 11 tahun 2014, No. 3 tahun 2014, No. PER-005/A/JA/03/2014, No. 1 tahun 2014, No. PERBER/01/III/2014/BNN.
Hasil penelitian telah membuktikan bahwa mengkombinasikan antara pendekatan hukum dengan penanganan medis psikologis untuk perilaku adiktif atau ketergantungan dapat berakibat efektif terhadap menurunnya pecandu dan penyalahguna narkotika serta angka kejahatan. Dalam hal ini Instansi penegak hukum juga harus berperan aktif untuk menerapkan alternatif pemidanaan melalui rehabilitasi. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh United States Department Of Justice Drug Court Program Office yang telah menerapkan alternatif pemenjaraan melalui program treatment accountability and safer communities.
Siapa Saja Yang Berhak Untuk Direhabilitasi?
Pasal 54 UU Narkotika tegas mengatakan bagi pecandu dan penyalahguna narkotika wajib untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal tersebut dikuatkan juga dalam pasal 55, 103 dan 127 ayat (2) dan (3) UU Narkotika.
Khusus didalam pasal 1 angka 13 dan angka 15 UU Narkotika telah diterangkan pengertian atau definisi dari “pecandu narkotika”, yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis; dan “penyalahguna” adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Berdasarkan seluruh aturan-aturan tersebut diatas, maka sanksi yang paling tepat dan efektif bagi pecandu dan penyalahguna narkotika adalah dikenakan kewajiban rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dimana masa rehabilitasi tersebut akan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Prinsip inilah yang dikenal dengan “principles of drug abuse treatment for criminal justice“.
Write a comment: